Tag

,

Umurnya masih 16 tahun, saat itu dia masih kelas dua SMP, Stevanus namanya. Stevanus seorang figur yang membanggakan, dia senang mendengarkan musik, bercerita, dia pun tidak pernah lupa membantu orang tuanya di rumah, meskipun harus merelakan tidak bermain bola.

Tanggal 14 Mei 1998, adalah hari yang sangat kelam untuk bangsa Indonesia ini. Dimana terjadi kerusuhan besar-besaran di beberapa tempat didaerah Jakarta seperti di Glodok, Mangga Dua, Bintaro, dan salah satunya Mall Jogya Plaza Klender, Jakarta Timur, dimana terjadi penjarahan, pembakaran toko-toko milik orang Tionghoa, bahkan pembakaran Mall Jogya Plaza Klender.

Kebetulan rumah Stevanus dan Mall Jogya Plaza Klender tidak terlalu jauh, karena Stevanus ingin tahu apa yang terjadi disana, akhirnya sekitar jam dua siang pergilah Stevanus kesana, sebelumnya dia sempat mengajak temannya, tapi temannya tidak mau dengan alasan takut. Tanpa rasa takut pergilah Stevanus ke lokasi dimana sedang terjadi kerusuhan. Ternyata kepergian Stevanus hari itu menjadi hari terakhir dia dengan keluarganya.

Maria Sanu, ibu Stevanus, beberapa saat setelah Stevanus pergi, ia sempat bertanya dengan teman Stevanus “kemana Stevanus?” jawab teman Stevanus “dia pergi ke Mall Jogya Plaza Klender, katanya ingin melihat apa yang sedang terjadi”. Saat ibu Maria bertanya dengan seseorang yang kebetulan lewat “apa yang sedang terjadi di Mall Jogya Plaza Klender?” kata orang itu, “sedang terjadi kerusuhan besar-besaran”, dan pembakaran Mall Jogya Plaza Klender”. Ibu Maria kaget saat mendengar bahwa Mall Jogya Plaza Klender terbakar, setelah beberapa jam Stevanus tidak kembali, bergegaslah ibu Maria kesana dengan kakak Stevanus. Setelah sampai disana, ibu Maria tidak mendapatkan hasil apa-apa, hanya ada toko-toko yang sudah hangus terbakar, mayat-mayat yang sudah gosong dan tidak terbentuk.

Saat ditunggu sampai malam berikutnya dia benar-benar tidak kembali, ibu Maria pun langsung pergi ke Polres setempat untuk melapor bahwa anaknya hilang saat kerusuhan terjadi, berharap dengan bantuan polisi Stevanus dapat ditemukan. Pertanyaan-pertanyaan pun datang menghampirinya dari tetangga sampai kerabat gereja “apa Stevanus sudah kembali?”, pertanyaan yang membuat keadaan ibu Maria semakin sedih. 12 tahun berlalu dan sampai saat ini Stevanus tidak kembali. “Dimana anakku sampai sekarang tidak kembali?”

Pemicu terjadinya kerusuhan adalah, karena pemerintahaan Soeharto yang terlalu otoriter, yang sangat membebankan rakyat kecil, akhirnya para mahasiswa turun kejalan melakukan demonstrasi, ujuk rasa, menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya. Tindakan pun diambil, tanggal 12 Mei 1998 para aparat turun melakukan penembakan di kampus Trisakti Jakarta, akibatnya empat mahasiswa tewas tertembak. Keesokan harinya Jakarta berubah menjadi tidak karuan, terjadi kerusuhan dibeberapa daerah di Jakarta, dan menyebabkan banyak jiwa melayang. TRK berpendapat, “Tragedi mei 1998 adalah suatu kerusuhan yang sistematis (terencana), serta meluas”. Yang dimaksud dengan meluas adalah penyebaran titik kerusuhan diberbagai wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Menurut hasil temuan TRK dan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), mengatakan bahwa, pelaku kerusuhan Mei 1998 terdiri dari tiga golongan. Golongan pertama adalah kelompok provokator, kelompok inilah yang menggerakan masa, dengan memancing keributan, memberikan tanda-tanda tertentu pada sasaran, mendorong penjarahan. Yang kedua masa aktif, masa yang dalam jumlah puluhan hingga ratusan yang karena terprovokasi menjadi agresif, melakukan pengerusakan lebih luas, bahkan pembakaran. Terakhir masa pasif yang awalnya berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang sedang terjadi. Selain itu para pelaku juga melakukan pelecahan seksual terhadap para wanita, terutama keturunan etnis Tionghoa. TGPF menemukan sebanyak 85 orang menjadi korban perkosaan. Menurut data yang berhasil dikumpulkan TRK terdapat sekitar 1.190 jiwa meninggal akibat di bakar, 27 jiwa meninggal di karenakan oleh senjata api dan tajam, 91 orang terluka, dan 31 orang hilang.

Menurut pandangan Hak Asasi Manusia, Negara harus bertanggung jawab karena telah gagal melindungi warga negaranya. Sedangkan menurut ibu Maria, Negara tidak hanya harus bertanggung jawab, tapi juga harus mencari pelaku dan segera mengusut tuntas kasus Mei 1998. Menurut UU No.39 Tahun 1999 pasal 3 ayat 2 yang berisi setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum. Tetapi tanpa kita sadari Negara/pemerintah sudah melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk pembiaran, karena aparat kepolisian tidak melakukan tindakan apa-apa untuk mencegahnya dan dapat dikatakan bahwa kasus Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat karena terjadi secara meluas dan sistematis.

Mugiyanto, anggota dari Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mengatakan bahwa, secara umum mandat transisi demokrasi di Indonesia dapat dikatakan gagal, terutama dalam konteks memberikan keadilan kepada para korban dan keluarga korban khususnya korban pelanggaran HAM. Transisi demokrasi di Indonesia belum mencapai keberhasilan, hkususnya dalam penegakan HAM. Di karenakan sikap politik pemerintah dan partai politik yang masih tidak jelas dan tidak berpihak kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Belum lagi ditambah aturan formil hukum dan perundang-undangan yang juga tidak berpihak kepada korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Akibatnya kehidupan para korban dan keluarga korban masih menggenaskan.

Terkadang dalam kehidupan sehari-hari, ibu Maria sering berdiam diri. Keadaan ini membuat ibu Maria hidup dalam kekosongan. Sudah seharusnya ibu Maria dan keluarga korban pelanggaran HAM mendapat perhatian dari pemerintah berupa keadilan dan pemulihan secepatnya atas penderitaan dari akibat pelanggaran HAM yang dialaminya. Pemerintah berkewajiban memberikan reparasi atau pemulihan kepada para korban tragedi Mei 1998 berupa kompensasi yang artinya pemulihan atas kerugiann secara ekonomi, rehabilitasi beruba pemulihan psikologis dan perawatan secara medis, restitusi adalah upaya mengembalikan para korban ke situasi semula sebelum terjadinya pelanggaran HAM, serta jaminan kepuasan dan ketidakberulangan di kemudian hari. Setidaknya para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM bisa merasakan kepuasan sementara.

Setelah satu tahun, pada tahun 1999 Tim Relawan untuk Kemanusiaa (TRK), berkunjung kerumah ibu Maria dan para keluarga korban lainnya untuk mengajak tabur bunga dari Mall Jogya Plaza Klender, lalu dilanjutkan ke TPU Pondok Rangon untuk tabur bunga bagi korban yang tidak diketemukan, dan yang dikubur secara masal. Selain tabur bunga mereka juga doa bersama untuk mendoakan para korban. Kerap kali ibu Maria meneteskan air mata, saat dimana ibu Maria tabur bunga, meskipun ibu Maria tidak tahu itu Stevanus atau bukan. Kegiatan tersebut juga masih berlangsung setiap tahunnya. Selain itu ibu-ibu korban Mei 1998 dan TRK juga mendirikan gerakan persatuan untuk para korban dan keluarga korban Mei 1998 yang bernama Paguyuban Keluarga Korban Mei 1998. Dari organisasi ini ibu Maria dan keluarga korban lainnya sama-sama melangkahkan kaki ke instansi pemerintahan untuk menuntut keadilan, seperti ke Kejaksaan Agung, Komnas HAM, DPR, Depkumham di datanginya, tanpa ada rasa lelah sedikitpun.

Di sela-sela kesibukannya, ibu Maria juga mengikuti aksi kamisan, yang diadakan setiap hari kamis dari jam empat sore sampai jam lima sore. Ibu maria juga bergabung dengan para keluarga korban pelangaran HAM lainnya seperti korban tragedi 1965, korban Tanjung Priok 1984, korban Trisakti, korban Semanggi 1 dan 2, korban Penghilangan Paksa. Mereka yang ikut aksi kamisan bukan hanya para korban, tapi mahasiswa yang sangat simpati terhadap para korban pelanggaran HAM. Mereka berdiri tanpa mengeluarkan kata-kata, memakai baju hitam-hitam, menggunakan payung hitam dengan tulisan pendek bewarna putih, tulisan itu adalah nama-nama kasus pelanggaran HAM yang sampai sekarang belum terselesaikan. Selain itu ibu Maria juga membawa foto Stevanus. Debu, asap mobil tidak ibu Maria hiraukan, yang terpenting adalah keadilan untuk anaknya Stevanus.

Tetapi kenyataan pahit harus diterima ibu Maria saat kasus Mei 1998 tidak diusut secara tuntas, bahkan di lupakan sampai sekarang, pelakunya pun bebas menghirup udara segar, bahkan para pelaku sekarang berada dilingkaran pemerintahan, dan memegang berbagai jabatan politik. Bila kita teropong hukum di Indonesia dapat dikatan gagal, buktinya menyelesaikan kasus Mei 1998 yang sudah 12 tahun berlalu saja berjalan lambat. Atau pemerintahannya yang terus menutup mata , sehingga tidak bisa melihat air mata para korban yang terus berjatuhan. Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) menyatakan prihatin dan kecewa atas pengembalian berkas hasil penyelidikan peristiwa Mei 1998 oleh Kejaksaan Agung, 26 Juli 2004 lalu.

“Saya merasa sangat kehilangan yang luar biasa, bayangkan saya yang mengandung, melahirkan, membesarkan Stevanus, dia hilang sampai sekarang entah masih hidup atau sudah meninggal. Kerusuhan itu membuat saya trauma, kerusuhan yang membuat luka sangan mendalam, sampai kapanpun saya tidak akan pernah duduk diam, saya akan menggugat demi mendapat keadilan untuk anak saya” ujar ibu Maria.

IKOHI berpendapat bahwa, mekanisme lain dari penuntasan kasus pelanggaran HAM selain pengadilan HAM yang di atur dalam UU No. 26 Tahun 2000, adalah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang diatur oleh UU No. 27 Tahun 2004. Mekanisme KKR menjadi salah satu upaya pengungkapan kebenaran dari suatu kasus pelanggaran HAM diluar pengadilan. Namun pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 27 Tahun 2004 mengenai KKR tersebut. Menurut Mahkamah Konstitusi, pembatalan UU KKR dikarenakan UU tersebut tidak memiliki konsistensi hukum sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak dapat dijalankan.

Pemerintah hanya bisa berjanji, tetapi tidak bisa menepatinya. Pemerintah hanya bisa bicara tentang kemampuan dan kelebihan, tetapi menutupi kelemahan dan kekurangan. Bicara soal janji dan kemampuan, itu hanyalah sebuah kedok untuk menutupi kelemahan dan kekurangan pemerintah. Andai saja pemerintah menepati janjinya, mungkin tidak ada pelanggaran HAM yang menyebabkan banyak jiwa melayang, dan tidak ada air mata berjatuhan.

Dalam kasus ini setidaknya kita tahu, betapa keras perjuangan ibu Maria demi mencari keadilan untuk Stevanus. Tujuan ibu Maria hanya ingin keadilan dan pengungkapan kebenaran dari pemerintah. Artinya pemerintah harus bergerak cepat dalam menyelesaikan kasus Mei 1998 ini, jangan hanya duduk diam dibangku kekuasaan tertinggi.

Penulis :  Magdalena Wulan (SMK Hang Tuah) , Juara III tingkat SMA